Ingatkah kamu?
Ketika kita pernah merajut impian untuk selalu bersama dalam segala suasana.
Senang ataupun sedih. Hampa ataupun benar-benar tiada.
Ingatkah kamu?
Ketika kita pernah mengikat janji.
Bahwa ‘salah satu dari kita akan selalu ada’
Tanpa perlu diminta. Tanpa perlu dalam ungkapan kata-kata.
Kita dapat saling berbicara hanya melalui satu tatapan mata saja.
Ingatkah kamu?
Ketika kita pernah memikirkan masa depan.
Bagaimana cara untuk meraih asa di kota ini.
Melangkah dari tanah yang sama, dengan segala yang melekat pada diri kita.
Tanpa suatu apapun, hanya seikat impian dan harapan.
Tanpa memiliki apa yang mereka punya. Bahkan dengan bangganya kita pernah tertawa dan berkata “mereka takkan pernah memiliki apa yang kita punya”
Tahukah kamu, apa yang kita miliki waktu itu?
Impian, kenangan, kekuatan yang takkan pernah bisa terbeli.
Semuanya itu, telah menjadi masa lalu. Aku telah salah menilai.
Kita rela menukarnya, kita rela menjualnya dengan kehidupan yang kita miliki saat ini.
Kita membiarkannya terkikis, meskipun kita juga membiarkan satu hal yang tersisa dalam rasa.
Masih teringat ketika satu per satu kita datang ke kota ini.
Mencoba membangun mimpi dari seuntai tali tak bertepi.
Namun yang kita hadapi adalah perbedaan gaya hidup, pertemanan, lingkungan.
Kekhawatiranku semakin membawa arti.
Kita telah mencapai batas impian.
Ada satu hal yang tidak bisa kita teruskan.
Hari ini,
Tepat setahun yang lalu aku memulai membangun lagi impian yang pernah tumpah dan pecah berkeping-keping.
Keyakinan yang membawaku kepadamu. Bukan serentetan duka masa lalu.
Dapatkah kamu menjawabnya, Sahabat?
Entah seperti apa pertemanan kita sekarang.
Semua media yang menghubungkan kita telah terputus.
Yang tertinggal cuma sedikit rasa yang tidak bisa kita hapuskan begitu saja.
Tidak hilang, tetapi juga tidak pergi.
Ya mungkin hanya itu yang tersisa dari kita.
Rasa yang terkadang meragu, terkadang merindu.
Antara mau menyapa ataukah diam saja.
Antara mau bertemu atau menghindar.
Rasa yang tak mampu kita jelaskan lebih lanjut.
Terlalu banyak perubahan hidup yang kita alami.
Sehingga keaslian dan ketulusannya tak mampu kita temukan lagi.
Terlalu banyak modifikasi.
Terlalu banyak obsesi.
Padahal kita hanya perlu untuk selalu menjadi diri sendiri.
Karena di situlah aku mampu melihat warnamu, teman sejiwaku.
Jakarta, 2 Juni 2013