Tidak semua orang bisa menerima kritikan dengan mudah. Tergantung orang tersebut apakah dia memiliki pikiran atau hati yang terbuka.
Aku memiliki pengalaman ketika menyampaikan sesuatu yang aku yakini benar pada seorang teman. Sebut saja dia Vika.
Pada suatu hari aku mengirimkan pesan padanya mengenai firasatku agar dia tidak pergi ke suatu tempat untuk menjumpai seseorang. Awalnya dia mendengarkan penjelasanku dengan keterbukaan, menunjukkan rasa keingintahuan yang besar, dan memintaku untuk terus menyampaikan padanya apa yang aku ketahui.
Semakin lepas dan jujur aku berbicara, dia mulai diam, berdalih dan membela dirinya. Dia berupaya membuktikan bahwa apa yang aku katakan sudah dia ketahui sebelumnya. Aku berupaya menjaga agar pembicaraan tetap tidak serius. Beberapa candaan aku lontarkan hingga akhirnya dia mengatakan hal yang cukup membuatku tersedak. Dia mengatakan bahwa aku adalah orang yang negatif. Dan dia ingin tetap menjadi positif di segala situasi.
Hmm, aku mulai malas, semangatku untuk melanjutkan pembicaraan dengan dia di malam itu menjadi drop ke titik terendah. Malam semakin terasa dingin. Aku kehilangan kata-kata. Jemariku bahkan lemas untuk menyentuh layar telepon genggamku.
Ketika dia mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Baguslah, good for her. Yang juga berarti bahwa aku sudah menyerahkan diriku tanpa perisai. Dia selalu mengetahui bagaimana cara untuk menusuk kelemahanku.
Tanpa dia sadari, dia mengatakan hal yang aku katakan padanya beberapa waktu yang lalu, yang aku peroleh dari hasil tes psikologi. Dan semenjak itu aku selalu berupaya untuk membuat diriku menjadi sosok yang berpikiran positif. Meskipun, aku seolah-olah terjebak di antara angka 0. Yang bisa berarti kekosongan (makna negatif) ataupun keseimbangan (makna positif).
Aku berpikir keras malam itu, mencari jawaban apakah aku akan selamanya menjadi negatif, tidak ada positifnya sama sekali. Menjadi seseorang yang dominan berdiri di deretan sebelah kiri angka 0 yang berarti semua angkaku adalah minus. Aku terus memikirkan ini sampai aku tertidur.
Keesokan harinya aku terbangun dengan kepala dipenuhi angka-angka. Ternyata tidur tak membuatku terbangun dengan pikiran yang lebih ringan. Tidur hanyalah jeda, sesaat, pelarian yang sesaat membuatku ‘hilang’. Kemudian aku tersadar, kita tidak mungkin untuk selalu hidup dan menjadi positif di segala sesuatu. Bagiku itu naif. Kita hidup di dunia yang juga dipenuhi dosa-dosa. Tiada yang sempurna, seorang pemuka agama sekalipun.
Bersikap negatif juga terkadang perlu untuk dapat bertahan dari kejamnya dunia. Sikap negatif seperti ini mungkin yang menurutku lebih cocok dikatakan sebagai bersikap kritis. Manusia harus selalu berupaya ke titik 0, bukan kekosongan, namun keseimbangan.
Terkadang berdiri di deretan sebelah kiri angka 0, terkadang di deretan sebelah kanan angka 0. Ya mobilitas membuat kita terus bergerak mengikuti ritme kehidupan. Namun kita berupaya untuk mencapai keseimbangan pikiran.
Dalam hal ini, aku setuju dengan apa yang dikatakan oleh Ayu Utami dalam bukunya Simple Miracle.
“Sprititualisme kritis adalah penghargaan pada yang sprititual tanpa mengkhianati nalar kritis”
Sedangkan spritualisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:
spiritualisme/spi·ri·tu·al·is·me/ n 1 aliran filsafat yg mengutamakan kerohanian: ia menumpahkan perhatian pd ilmu-ilmu gaib, spt mistik dan –; 2kepercayaan untuk memanggil roh orang yg sudah meninggal; 3 spiritisme.
Tentunya tidak semua orang meyakini dan mempercayai mengenai hal-hal yang mistis seperti ini, namun bukan berarti untuk tidak menghargai mereka yang memiliki kelebihan atau gift dalam hal ini.
Sebagai orang yang tidak mampu menahan diri untuk tidak menyampaikan sebuah pesan, maka aku kembali mengirimkan pesan kepada Vika. Tujuannya adalah menjelaskan kepadanya bahwa sikap yang aku tunjukkan semalam adalah sikap kritis, bukan negatif seperti yang dia tangkap. Aku mengatakan bahwa aku tidak ingin menyakiti, namun kejujuran itu selalu membayang-bayangi dan memberikan rasa takut.
Ya kejujuran itu menyakitkan adalah benar apabila di dalam kejujuran tersebut tersimpan kenyataan yang pahit. Dan rasa juga memiliki keberagaman, manis-asin-pahit-asam-bahkan hambar. Keseimbangan rasa juga diperlukan secara fisik oleh tubuh, ini hal yang alamiah.
Aku berupaya mengoreksi, bahwa yang dia maksud mungkin aku bukanlah bersikap negatif namun menjadi spiritual kritis. Sayangnya dia memilih untuk diam, padahal pembicaraan ini menarik dan membuatku bersemangat. Jadilah aku berbicara sendiri seperti orang gila, hingga seorang teman lainnya meyakinkan aku bahwa aku tidak gila.
Aku hanya memiliki itikad yang baik dan keberanian untuk menyampaikan suatu hal yang pahit, yang bertujuan prepare for the worst thing to happen. Karena aku maupun dia tidak bisa saling melihat diri kita sendiri tanpa bantuan orang lain.
Vika memang tipikal orang yang tidak mau menerima kenyataan. Dan aku menyadari bukan aku yang salah. Aku tidak salah dengan bersikap jujur mengenai firasatku kepada seorang teman. Penerimaannya adalah yang menjadi masalah. Ketika dia bersikap seolah dia mampu berpendapat atau mengungkapkan perasaannya.
Vika tidak pernah bisa. Dia bahkan tidak pernah mampu membalas secara serius semua email yang aku kirimkan padanya. Ya, Vika adalah tipikal pelari, dia selalu lari dari masalahnya. Dengan tidur, dengan bepergian, dan akhir-akhir ini aku menemukannya lari dalam minuman beralkohol.
Vika meninggalkan kenyataan dirinya dengan terus berlari tanpa mau menghadapi. Dia menolak hidupnya, dia menolak apa yang dikatakan orang tentang dirinya. Atau entah mungkin di dalam dirinya, sebenarnya dia mengakui tapi egonya terlalu tinggi untuk menerima. Aku yakin dia mengakuinya di dalam hati.
Aku tahu Vika enggan berbicara denganku, dia belum siap untuk menerima kejujuran lagi. Kejujuran yang selalu dia takutkan. Namun aku akan selalu ada untuknya. Aku akan selalu menyayanginya karena rasaku memang begitu adanya. Aku akan berdiri di barisan terdepan untuk selalu membelanya, meskipun dia salah atau benar.
Sayangnya, dukunganku untuk Vika tak bisa seperti yang dia harapkan. Karena aku memiliki sikap kritis, dan akan selalu bersikap kritis dan realistis. Suatu hal yang dibutuhkannya dariku, dan mungkin tidak diperolehnya dari temannya yang lain. Inilah yang mungkin membuat Vika dan aku tetap berteman.
Di lain sisi, Vika pastinya juga punya pandangan terhadapku. Suatu hari aku ingin mewawancarainya, memintanya untuk melihat dari sudut pandang orang lain tentang aku. Supaya berimbang. Ya, bukankah dengan cara ini kami dapat mencapai keseimbangan.