Seperti Solilokui yang Tak Pernah Berhenti

Atas nama persilangan garis-garis takdir, kami bersinggungan dalam satu titik kuadrat yang tak saya sangka. Dan begitu saya disodori draf awal buku ini, saya kaget. Saya hampir-hampir tak menemukan persoalan dalam tulisannya.

Elnov sudah berhasil menembus satu lapisan ritus paling pertama, yakni menerbitkan buku. Lapisan ritus kedua adalah bagaimana buku ini menjadi media untuk menyadarkan umat manusia bahwa isu psikologi sama pentingnya dengan isu lain dalam laju gerak peradaban manusia.

Jika penyair Romawi Horatius mengatakan bahwa karya sastra memiliki dimensi dulce et utile, tulisan Elnov sudah memenuhi aspek dulce. Bentuknya sudah bagus meski kami berdua sempat terlibat perdebatan seru bagaimana sebaiknya bentuk buku ini, apakah fiksi atau nonfiksi. Elnov pun memilih bentuk nonfiksi. Saya tak bisa membantahnya karena dia sudah punya licentia poetica sendiri.

Bisa jadi juga faktor utile yang membuat Elnov memilih mazhab nonfiksi. Ya, saya juga sepakat bahwa buku ini membawa misi pengetahuan yang agung. Memberitahu kita, masyarakat yang awam tentang mental issue, bahwa bipolar dan kondisi psikologis lainnya adalah sesuatu yang harus kita pahami. Mereka ada dan banyak manusia yang setiap hari bergelut dengannya. Bergelut dengan pikiran-pikiran mereka sendiri.

Saya kira Elnov tidak sendiri. Banyak penulis besar di masa lalu dan masa sekarang yang mengalaminya. Konflik batin itu bahkan menjadi bagian tak terelakkan dari proses pemikiran seorang penulis. Seperti solilokui antara dua kutub yang terus bertarung dalam diri, bukan di panggung oleh seorang monolog misalnya.

Beberapa penulis besar harus mengalami kondisi psikologis yang begitu menyedihkan. Mereka hidup dalam semesta pikiran yang sangat depresif. Menguliti diri sendiri hingga pada level yang sangat telanjang. Mereka tak nyaman dengan diri mereka, tak nyaman dengan dunia. Mereka tak bisa dipahami oleh masyarakatnya. Bahkan tak bisa dipahami oleh orang terdekatnya. Juga oleh diri sendiri. Tapi, Elnov saya kira hampir-hampir sendiri dalam hal lain.

Tak banyak tulisan populer tentang mental issue. Penyebabnya, bisa beragam. Isu ini tidak populer. Apalagi di tengah ideologi viral dalam masyarakat digital yang mabuk media sosial. Banyak pengidap bipolar yang menerima label buruk dari masyarakat. Bisa jadi karena faktor referensi yang kurang dan terbatas. Tak banyak buku yang membahas bipolar. Bahkan, kalaupun ada, bisa dihitung dengan jari.

Elnov sendirian di sini. Karena itu, begitu saya mendengar kabar bahwa buku ini hendak terbit, Elnov sudah berhasil menembus satu lapisan ritus paling pertama, yakni menerbitkan buku. Lapisan ritus kedua adalah bagaimana buku ini menjadi media untuk menyadarkan umat manusia bahwa isu psikologi sama pentingnya dengan isu lain dalam laju gerak peradaban manusia. Karena pada akhirnya, kesehatan mental paling utama adalah menjadi diri sendiri. Dan mengatasi serangkaian krisis pilihan-pilihan hidup dengan kesadaran eksistensial yang matang.

Semoga Elnov bisa melaluinya dengan buku ini, dan buku-buku lain yang akan terbit segera!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *